“ MAKALAH SURAT AL ASHR ”
Disusun Oleh:
Nama
: Susi Lestari
NIM
: 2115r1091
Jurusan
: Teknik Informatika
Prodi
: Agama
Dosen Pengampu:
Septia
Lutfi
SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN DAN ILMU KOMPUTER
HIMSYA
Allah berfirman:
بسم الله الرحمن الرحيم
وَالْعَصْرِ
إِنَّ الْإِنْسَانَ
لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا
الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ
وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3).
Demi
Masa
Allah bersumpah dengan al ‘ashr, yang
dimaksud adalah waktu atau umur. Karena umur inilah nikmat besar yang diberikan
kepada manusia. Umur ini yang digunakan untuk beribadah kepada Allah. Karena
sebab umur, manusia menjadi mulia dan jika Allah menetapkan, ia akan masuk
surga.
Manusia
Benar-Benar dalam Kerugian
Manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian di sini adalah lawan
dari keberuntungan. Kerugian sendiri ada dua macam kata Syaikh ‘Abdurrahman bin
Nashir As Sa’di rahimahullah.
Yang pertama, kerugian mutlak yaitu orang yang merugi di dunia dan akhirat.
Ia luput dari nikmat dan mendapat siksa di neraka jahim.
Yang kedua, kerugian dari sebagian sisi, bukan yang lainnya. Allah
mengglobalkan kerugian pada setiap manusia kecuali yang punya empat sifat:
(1) iman,
(2) beramal sholeh,
(3) saling menasehati dalam kebenaran,
(4) saling menasehati dalam kesabaran.
1-
Mereka yang Memiliki Iman
Yang dimaksud dengan orang yang selamat dari kerugian yang pertama adalah
yang memiliki iman. Syaikh As Sa’di menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah
perintah beriman kepada Allah dan beriman kepada-Nya tidak diperoleh kecuali
dengan ilmu. Iman itu diperoleh dari ilmu.
Syaikh Sholeh Alu Syaikh berkata bahwa iman di dalamnya harus terdapat
perkataan, amalan dan keyakinan. Keyakinan (i’tiqod) inilah ilmu. Karena ilmu
berasal dari hati dan akal. Jadi orang yang berilmu jelas selamat dari
kerugian.
2-
Mereka yang Beramal Sholeh
Yang dimaksud di sini adalah yang melakukan seluruh kebaikan yang lahir
maupun yang batin, yang berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia, yang
wajib maupun yang sunnah.
3-
Mereka yang Saling Menasehati dalam Kebenaran
Yang dimaksud adalah saling menasehati dalam dua hal yang disebutkan
sebelumnya. Mereka saling menasehati, memotivasi, dan mendorong untuk beriman
dan melakukan amalan sholeh.
4-
Mereka yang Saling Menasehati dalam Kesabaran
Yaitu saling menasehati untuk bersabar dalam ketaatan kepada Allah dan
menjauhi maksiat, juga sabar dalam menghadapi takdir Allah yang dirasa
menyakitkan. Karena sabar itu ada tiga macam:
(1) sabar dalam melakukan ketaatan,
(2) sabar dalam menjauhi maksiat,
(3) sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa menyenangkan atau menyakitkan.
Sukses
pada Diri dan Orang Lain
Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan,
“Dua hal yang pertama (iman dan amal sholeh) untuk menyempurnakan diri manusia.
Sedangkan dua hal berikutnya untuk menyempurnakan orang lain. Seorang manusia
menggapai kesempurnaan jika melakukan empat hal ini. Itulah manusia yang dapat
selamat dari kerugian dan mendapatkan keberuntungan yang besar.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 934).
Sudah
Mencukupi dengan Surat Al ‘Ashr
Seandainya Allah menjadikan hujjah hanya dengan surat Al ‘Ashr ini, maka
itu sudah menjadikan hujjah kuat pada manusia. Jadi manusia semuanya berada
dalam kerugian kecuali yang memiliki empat sifat: (1) berilmu, (2) beramal
sholeh, (3) berdakwah, dan (4) bersabar.
Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata,
هذه السورة لو ما أنزل الله
حجة على خلقه إلا هي لكفتهم
“Seandainya Allah menjadikan surat ini sebagai hujjah pada hamba-Nya, maka
itu sudah mencukupi mereka.” Sebagaimana hal ini dinukil oleh Syaikh Muhammad
At Tamimi dalam Kitab Tsalatsatul Ushul.
Semoga
Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang sukses dan selamat dari
kerugian dunia lan akhirat.
Kandungan
surat al ashr
Ayat diatas menjelaskan kepada kita bahwa manusia itu akan rugi jika ia lalai terhadap waktu. ayat ini secara tegas menjelaskan bahwa bagi manusia yang tidak menghargai waktu untuk hal-hal yang bermanfaat niscaya manusia itu akan rugi.
Ayat ini juga merupakan
wahyu kesembilan yang diterima oleh nabi Muhammad SAW. Sedangkan wahyu yang
sebelumnya adalah surat Alam Nasyrah.
Imam Syafi’i menilai surat
ini sebagai salah satu surat yang paling sempurna petunjuknya, beliau
menyatakan; “seandainya ummat Islam memikirkan kandungan surat ini niscaya
(petunjuk-petunjuknya) mencukupi mereka.”
Dalam Al-quran jika kita
melihat urutan penulisannya, surat ini terletak pada urutan ke-103, tepatnya
setelah surat al-takasur dan sebelum surat al-humazah. Lalu apa kaitan antara
surat ini dengan surat sebelumnya? Dalam surat at-takasur, Allah SWT memperingatkan
manusia yang menjadikan seluruh aktifitasnya hanya berupa perlombaan
menumpuk-numpuk harta, serta menghabiskan waktunya hanya untuk maksud tersebut,
sehingga mereka lalai akan tujuan utama dari kehidupan ini, yaitu untuk
menghambahkan diri kepadanya. Sedangkan pada surat ini (al-Asahr) Allah
memperingatkan tentang pentingnya waktu dan bagaimana seharusnya kita isi waktu
tersebut supaya lebih bermanfaat dan mendapat ridho Allah tentunya.
Kemudian jika kita
perhatikan surat ini dimulai dengan huruf sumpah(والعصر) yang bermakna “Demi masa”. Para ulama sepakat kata (العصر) pada ayat pertama pada
surat ini, dengan makna waktu, namum mereka tetap berbeda pendapat tentang
waktu yang dimaksud.
Pendapat-pendapat itu
antara lain:
1. Waktu atau masa dimana
langkah dan gerak tertampung di dalamnya.
2. Waktu tertentu, yakni
waktu dimana sholat ashar dapat dilaksanakan.
3. Saat sholat ashar
dilaksanakan
4. Waktu atau masa
kehadiran Nabi Muhammad SAW dalam pentas kehidupan ini.
Apa yang Allah maksudkan,
sehingga pada awal surat tersebut Allah bersumpah “Demi waktu”. Menurut Abduh:
“telah terjadi kebiasaan orang-orang Arab pada masanya turunnya Al-quran untuk
berkumpul dan berbincang-bincang menyangkut berbagai hal, dan tidak jarang
dalam perbincangan mereka itu terlontar kata-kata yang mempersalahkan waktu
atau masa. “ waktu sial” demikian sering kali ucapan yang tersdengar dari mulut
mereka bila mereka gagal, atau “waktu keberuntungan” jika mereka
berhasil.
Hal yang demikian dalam
ajaran Islam dilarang, kerena dalam ajaran Islam tidak ada yang namanya “waktu
sial” atau “waktu keberuntungan” semua waktu itu sama. Yang berpengarauh adalah
kebaikan dan keburukan seseorang dalam berusaha, maupun dalam aktivitas yang
mereka kerjakan, dan inilah yang berperan baik (beruntung) atau buruknya (sial)
kesudahan suatu pekerjaan, kerena waktu itu bersifat tidak memihak kepada
kebaikan maupun kepada keburukan.
Waktu adalah milik Tuhan,
di dalamnya Tuhan melaksanakan segala perbuatan-Nya, seperti; menciptakan dunia
beserta isinya, memberi rizki makhluk-makhluknya, memuliakan dan menghinakan.
Nah, berarti kalau demikian adanya, waktu itu tidak perlu kita kutuk, ataupun
kita sebut waktu membawa keberuntungan atau juga kesialan. Janganlah mencerca
waktu, kerena Allah adalah pemilik waktu, jika kita menghina waktu berarti sama
saja kita telah menghina yang menciptakan waktu tersebut yakni Allah SWT.
Di atas telah disinggung
bahwa orang yang tidak bisa memanfaatkan waktu secara maksimal maka orang itu
akan merugi, kerugian itu mungkin tidak akan kita rasakan pada waktu dini,
tetapi pasti akan kita sadarinya ketika pada waktu tua nantinya. Kita sering
menemukan atau mendengarkan orang bilang kalau dia sangat menyesal telah
menyia-nyiakan waktu mudahnya dengan hal yang tidak bermanfaat, mari kita
jadikan itu semua sebagai contoh untuk kita lebih berhati-hati dalam
memanfaatkan waktu. Kerena waktu itu tidak akan pernah kembali.
Pada ayat kedua pada surat
al-ashr diatas menyebutkan bahwa “manusia berada dalam kerugian”. Kerugian itu
seakan-akan menjadi suatu tempat/wadah, dan manusia berada olah wadah tersebut.
Yang dimaksud ayat di atas mengandung arti bahwa manusia berada dalam kerugian
total, tidak ada satu sisi dari diri dan usahanya yang luput dari kerugian; dan
kerugian itu, amat besar bagi mereka, maka timbul pertanyaan mengapa
demikian?
Kalau kita kembali kepada
makna ayat pertama “Demi masa” serta kaitannya dengan ayat kedua “sesungguhnya
manusia berada di dalam kerugian” maka kita akan mengetahui bahwa waktu itu merupakan
modal utama manusia. Apabila waktu itu tidak diisi dengan kegiatan yang
positif, maka waktu itu akan berlalu begitu saja; ia akan hilang meninggalkan
kita. Dan ketika itu, jangankan keuntungan yang diperoleh, modal awal saja
sudah hilang.
Sayyidina Ali r.a. pernah
berkata:
Rezeki yang tidak diperoleh
hari ini masih dapat diharapkan lebih dari itu diperoleh esok, tetapi waktu
yang berlalu hari ini tidak mungkin dapat diharapkan kembali esok hari.
Sejalan dengan ungkapan
diatas, ada sebuah riwayat yang menyatakan:
Tidak terbitnya suatu fajar
kecuali seseorang (malaikat) berseru: “wahai putra-putri Adam, aku adalah
mahkluk baru, aku menjadi saksi atas usaha-usahamu. Ambillah keuntungan
(gunakanlah aku) kerena aku tidak akan kembali lagi hingga hari
kemudian.”
Kalau demikian, waktu harus
dimanfaatkan sebaik mungkin kerena apabila tidak kita isi dengan
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat maka kita akan rugi, janganlah sekali-kali
kita isi dengan kegiatan yang tidak bermanfaat (negatif), jika hal yang
demikian yang selalu kita perhatikan niscaya kita tidak akan merasa rugi
(penyesalan) nantinya.
Disinilah terlihat kaitan
antara ayat pertama dengan ayat kedua, dan dari sini pula ditemukan sekian
banyak hadits Nabi SAW. Yang memperingatkan manusia agar mempergunakan waktu
dan mengaturnya sebaik mungkin.
Dalam suatu riwayat
disebutkan:
“Dua nikmat yang sering
dilupakan (disia-siakan) oleh manusia, yakni; kesehatan dan waktu.”
Di dalam riwayat lain Nabi
bersabda:
“Bagi yang berakal, selama
akalnya belum lagi terkalahkan (gila)berkewajiban mengatur waktu-waktunya. Ada
waktu yang digunakan untuk bermunajat (berdialog dengan Tuhannya, ada pula
untuk berfikir menyangkut penciptaan langit dan bumi (belajar), ada pula untuk
melakukan evaluasi (intropeksi) terhadap dirinya, dan ada pula yang di
khususkan untuk diri dan keluarganya guna memenuhi kebutuhan makan dan
minumnya.”
Semua munusia diliputi oleh
kerugian yang besar dan beraneka ragam, demikian pula ayat kedua menyebutkan.
Kemudian pada ayat ketiga dijelaskan bahwa yang tidak akan merugi adalah orang
yang memiliki empat sifat yang dijelaskan pada ayat ketiga, yakni;
a. Orang yang beriman
b. Orang yang beramal
shaleh
c. Orang yang saling
berwasiat (menasihat) tentang kebenaran; dan
d. Orang yang saling
berwasiat (menasihat) tentang kesabaran/ketabahan.
· Pengertian iman
Iman itu bisa kita artikan
“pembenaran” tentu pembenaran disini masih bersifat umum. Pembenaran yang kita
maksudkan adalah pembenaran hati terhadapa apa yang didengar oleh telinga dan
dibenarkan pula oleh anggota badan. Dan juga pembenaran yang disampaikan oleh
Nabi SAW . dimana telah kita ketahui rukun iman yang enam itu:
a. Beriman (membenarkan)
akan keesaan Allah.
b. Beriman (membenarkan)
adanya Malaikat.
c. Beriman (membenarkan)
kitab-kitab suci.
d. Beriman (membenarkan)
kepada nabi/Rosul Allah.
e. Beriman (membenarkan)
kepada Hari Kemudian (Akhirat)
f. Beriman (membenarkan)
kepada ketentuan baik dan buruk
Setelah kita mengenal
tentang rukun-rukkun iman tersebut, kita akan bisa membedakan peringkat dan
kekuatan iman yang ada pada diri kita, bahkan kita dapat mengukur apakh iman
kita sedang bertyambah ataupun berkurang (الإيمان يزيد وينقص) demikian lah yang purlu
kita ketahui bahwa iman seseorang itu bisa bertambang dan berkurang.
Sayyidina Ali k.w
(karromallahu wajhah) pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’li
Al-Yamani:
Apakah Anda pernah melihat
Tuhan anda?
Lalu Ali menjawab:
bagaimana saya menyembah sesuatu yang tidak saya lihat.
Orang itu bertanya lagi:
bagaimana Anda melihatnya?
Imam Ali menjawab: Allah
tidak bisa dilihat dengan pandangan mata, tetapi dapat dijangkau oleh pandangan
hati dengan hakikat keimanan.
Iman sangat sulit
digambarkan hakikatnya; ia dirasakan oleh seseorang, tetapi sulit baginya
melukiskan perasaan itu. Kerena itu sangat erat kaitannya dengan keyaqinan yang
ada dalam diri kita (hati)
Iman itu bagaikan rasa
kagum atau cinta (senang), hanya orang yang sedang mengalami rasa cinta yang
bisa merasakannya, begitu juga dengan iman, jika kita tidak pernah merasakan
kecintaan kepada Allah tentu bagaimana kita bisa melukiskan iman itu ada pada
diri kita.
Demikian gambaran tentang
arti dan hakikat iman. Kemudian orang yang tidak akan merugi itu yang kedua
adalah orang yang beramal shaleh (perbuatan baik)
· Beramal shaleh
Amal shaleh adalah
pekerjaan yang apabila dilakukan, maka suatu kerusakan akan terhenti atau
menjadi tiada; atau bisa juga diartikan sebagai suatu pekerjaan yang apabila
dilkukan akan memperolah manfaat, bukan hanya pada dirinya, tapi bagi orang
disekitarnya.
Orang bisa disebut orang
shaleh apabila aktivitasnya mengakibatkan terhindarnya mudharat, atau
pekerjaannya memberikan manfaat kepada pihak lain, serta pekerjaannya tersebut
sesuai dengan ajaran Islam, akal dan adat istiadat yang baik. Kerena apaupun
perbuatan yang kita lakukan di dunia ini, semuanya akan kita
pertanggungjawabkan dihadapan Allah nantinya, sebagaimana firman Allah:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
Artinya:
Dan barang siapa yang
mengamalkan sebesar biji sawi dari kebajikan niscaya ia akan mendapat
(ganjaran)-nya (QS: Az-zalzalah; 7)
Secara langsung al-Quran
tidak menjelaskan secara tegas apa yang dimaksud dengan amal shaleh, tetapi
apabila ditelusuri contoh-contoh yang ada, seperti kata (الفساد) yaitu kerusakan, yang
merupakan lawan kata dari kebaikan.
Jadi orang yang
menghindarkan dari berbuat kerusakan atau menghindarkan diri dari berbuat
kerusakan kesemuanya juga dinamakan orang shaleh.
Seperti yang dijelaskan di
dalam Al-quran tentang orang yang disebut berbuat kerusakan:
1. Pengrusakan tumbuhan,
generasi manusia dan keharmonisan lingkungan. (QS Al-Baqarah:205)
2. Tidakmaunya menerima
kebenaran (QS Ali-Imran:63)
3. Perampokan, pembunuhan,
dan gangguan keamanan (QS al-Maidah: 32)
4. Pengurangan takaran,
timbangan, dan hak-hak manusia (QS al-A’raf: 86)
5. Usaha memecah-belah
kesatuan (QS Al-anfal)
6. Berfoya-foya dan
bermewah-mewah (QS Hud: 115-116)
7. Pemborosan (QS
Asy-Syu’aro’:152)
8. Makar dan penipuan (QS
An-naml:49)
9. Pengorbanan nilai-nilai
agama (QS Ghafir:26)
10. Keweneng-wenangan (QS
Al-Fajr: 12)
Usaha-usaha untuk mencegah
hal yang disebut diatas merupakan bagian dari amal shaleh; semakin besar usaha
tersebut maka semakin tinggi pula nilai kualitas keimanan manusia, begitu juga
dengan sebaliknya. Tetapi harus kita ingat, bahwa amal shaleh itu harus
dibarengi dengan sifat yang pertama yang telah kita bahas diatas yakni Iman,
kerena tanpa iman kepada Allah SWT amal-amal ini akan menjadi sia-sia belaka,
sebagaimana firman Allah SWT:
وَقَدِمْنَآ اِلَى مَا عَمِلُوْا مَنْ عَمِلَ فَجَعَلْنَاهُ هَبَآءً مَنْـثُوْرًا
Artinya:
Dan kami dahapi segala amal
(baik) yang mereka kerjakan, lalu kamu jadikan amal itu (bagaikan) debu yang
bertebaran. (QS: Al-Furqan: 23)
Dalam menghadapi kehidupan
dunia ini, Al-quran memerintahkan manusia agar melakukan kebaikan, serta
melarang melakukan kemungkaran maupun kerusakan.
Apabila orang telah mampu
melakukan amal shaleh disertai dengan iman, maka ia telah memenuhi kedua dari
empat hal yang harus dipenuhinya dalam rangka membebaskan dirinya dari kerugian
total. Namun sekali lagi harus perlu diingat, bahwa menghiasi diri dengan kedua
hal tersebut, baru membebaskan kita dari setengah kerugian; kerena masih ada
dua lagi yang harus kita miliki agar kita benar-benar selamat dan beruntung
serta terhindar dari segala kerugian.
· Saling menasihat kepada
kebaikan
Hal yang ketiga untuk
menghindarkan diri dari hal yang merugi yaitu; saling berwasiat (menasehati
kepada kebaikan).
Wasiat (menasehati secara
umum diartikan sebagai “menyuruh secara baik” dalam makna yang lain mewasiati
adalah; tampil kepada orang lain dengan kata-kata yang halus agar yang
bersangkutan bersedia melakukan sesuatu pekerjaan yang diharapkan darinya
secara berkesinambungan.
Dengan demikian wasiat
(menasihati) dapat dipahami bahwa isi dari nasihat itu hendaknya dilakukan
secara terus-menerus, bahkan mungkin juga yang menyampaikannya juga
melakukannya secara terus-menerus dan tidak bosan-bosannya menyampaikan nasihat
itu kepada yang dinasehati.
Di dalam Al-quran kita bisa
temukan tentang dua macam wasiat, yakni;
Wasiat Allah SWT
Wasiat Allah itu antara lain
adalah:
1. Pelaksanaan ajaran
agama, serta bersatu padu dan juga tidak bercerai berai di dalamnya.
2. Bertaqwa kepada-Nya (QS
An-nisa; 131)
3. Berbuat baik kepada
kedua orang tua, khususnya kepada Ibu (QS Luqman: 14)
4. Sepuluh hal yang
disebutkan dalam surat Al-An’am:
a. Jangan mempersekutukan
Allah
b. Berbuat baik kepada
kedua orang tua
c. Jangan membunuh
anak
d. Jangan mendekati zina,
baik secara terang-terangan maupun dengan cara sembunyi-sembunyi
e. Jangan membunuh
seseorang kecuali secara sah dan dibenarkan oleh agama
f. Jangan menyalahgunakan
harta anak yatim apalagi memakannya
g. Menyempurnakan takaran
dan timbangan
h. Percakapan atau sikap
hendaknya dilakukan secara benar dan adil walaupun merugikan orang lain
i. Memenuhi perjanjian-perjanjian.
5. Beberapa perincian
ajaran agama, seperti;
a. Pembagian harta warisan
(QS An-nisa’: 11)
b. Shalat dan zakat (QS
maryam: 31)
Wasiat para Nabi
Secara tidak langsung nabi
Ibrahim dan nabi Ya’kub a.s. mewasiatkan agar berpegang teguh pada ajaran-ajaran
agam, berusaha mengamalkannya secara terus-menerus, agar seseorang tidak
dijumpai oleh kematian kecuali dalam keadaan menganut dan mengamalkan ajaran
Islam, sebagaimana dijelaskan dalam Al-quran:
Artinya:
dan Ibrahim telah
Mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim
berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini
bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".
Demikianlah wasiat-wasiat
yang dijelaskan oleh Al-quran yang tentunya merupakan wasiat kepada kebenaran,
yang merupakan kandungan dari surat al-Ashr ayat tiga diatas.
Hal yang ketiga ini
menggambarkan bahwa seseorang berkewajiban untuk mendengarkan kebenaran dari
orang lain, serta mengajarkannya kepada orang lain. Kita belum bisa dikatakan
terlepas dari kerugian bila sekedar beriman, beramal shaleh, dan mengetahui
kebenaran hanya untuk diri kita sendiri, tapi kebenaran yang kita ketahui
seharusnya kita ajarkan (sampaikan) kepada orang lain, kerena ini merupakan
kewajiban.
· Saling menasihat kepada
kebenaran
Hal yag keempat atau yang
terakhir dari penjelasan ayat al-ashr diatas yakni saling mewasiati
(menasehati) kepada kesabaran.
Sabar adalah “menahan
kehendak hawa nafsu demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik”.Di dalam
Al-quran bila kita amati, ternyata kebajikan dan kedudukan tertinggi diperoleh
manusia kerena kesabarannya. Sebagaiman dijelaskan dalam Al-quran:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ اَئِمَّةً يَهْدُوْنَ بِاَمْرِنَا لمَـَّا صَبَرُوْا
Artinya:
Dan kami jadikan di antara
mereka, pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika
mereka bersabar. (QS As-sajadah:24)
Dalam ayat yang lain Allah
menjelaskan:
إِنَّمَـا يُوَفَّى الصَّا بِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya:
Sesungguhnya hanya orang
yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS Az-zumar:
10)
Dari ayat diatas dapat
dipahami bahwa terdapat bermacam-macam kesabaran yang diharapkan ada pada diri
manusia. Secara umum kesabaran dapat dibagi dalam dua bagian; sabar jasmani dan
kesabaran rohani.
1. Sabar jasmani
Sabar jasmani adalah
kesabaran dalam menerima dan melaksanakan perintah-perintah keagamaan yang
melibatkan anggota tubuh, seperti sabar dalam melaksanakan ibadah haji yang
mengakibatkan keletihan, atau sabar dalam peperangan dalam membela kebenaran.
Termasuk pula sabar dalam menerima cobaan yang menimpah jasmani, seperti;
penyakit, penganiayaan dari orang lain dan semacamnya.
2. Sabar rohani
Sabar rohani adalah yang
menyangkut kemampuan menahan kehendak hawa nafsu yang dapat mengantar kepada
kejelekan, seperti; sabar dalam menahan amarah, dan juga sabar dalam menahan
hawa nafsu seksual.
Wasiat diatas mengandung
makna bahwa kita dituntut, disamping mengembangkan kebenaran pada diri kita
masing-masing, kita juga dituntut untuk mengembangkan pada diri orang lain.
Kerena manusia itu bukan hanya sebagai makhluk individu, tetapi kita juga harus
ingat bahwa kita ini makhluk sosial.
Kita dituntut untuk
memperhatikan teman disekeliling kita, sebagaimana teman kita juga diwajibkan
untuk memperhatikan kita. Kita manusia ini saling berkewajiban untuk saling
mengingatkan kepeda kebenaran dan kebaikan. Kita semua adalah satu kesatuan,
tolong menolong dalam satu perjuangan serta saling mendukung, kerena jika hal
itu tidak ada niscaya kita akan rugi, bukan hanya diri kita sendiri, tapi orang
lain juga.
Rosul telah menggambarkan
keadaan ummat seperti keadaan penumpang perahu (kapal), apabila penumpang yang
ada di geladak kapal menimbahkan air dengan membocorkan perahu, sedangkan
penumpang yang lain membiarkannya, maka sudah dapat dipastikan perahu akan
kemasukan air dan tenggelam; dan ketika itu yang tenggelam bukan hanya yang
membocorkannya, tetapi semua penumpang yang ada di dalamnya.
Di dalam surat al-ashr ini
secara keseluruhan berpesan agar seseorang itu tidak hanya mengandalkan imannya
saja, tetapi amal shaleh, bahkan amal shaleh dan imanpun belum cukup, kerena
kita masih punya kewajiaban yakni; seling memberi wasiat (nasihat) kepada
kebenaran dan kesabaran kepada sesama kita.
Dalam rangka memperolah
kebaikan itu dibutuhkan peningkatan pengetahuan dan dalam rangka memperolah
pengetahuan kita dituntut untuk bersabar dan ketabahan.
Iman dan amal shaleh tanpa
ilmu pengetahuan belum juga cukup, sebagaimana dijelaskan oleh Murthada
Muthahhary: “ilmu memberi kekuatan yang menerangi jalan kita dan iman
menumbuhkan harapan dan dorongan bagi jiwa kita. Ilmu menciptakan alat-alat
produksi, sedangkan iman menetapkan haluan yang dituju serta memelihara
kehendak yang suci. Ilmu dan iman keduanya merupakan kekuatan; kekuatan ilmu
terpisah, sedangkan kekuatan iman menyatu. Keduanya adalah keindahan dan hiasan;
ilmu adalah keindahan aqal, sedangkan iman keindahan jiwa; ilmu hiasan fikiran
dan iman hiasan perasaan. Keduanya menghasilkan ketenangan, ketenangan lahir
akan kita dapatkan dari ilmu, dan ketenangan batin oleh iman. Ilmu memelihara
manusia dari penyakit-penyakit jasmani dan malahpetaka duniawi, sedangkan iman
memeliharanya dari penyakit-penyakit ruhani dan kejiwaan serta malapetaka
ukhrawi. Ilmu akan menyesuaikan manusia dengan diri dan lingkungannya,
sedangkan iman menyesuaikannya dengan jati dirinya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar