Senin, 04 Januari 2016

MAKALAH HABLUM MINALLAH





“ MAKALAH HABLUM MINALLAH ”

 

Disusun Oleh:

Nama : Susi Lestari
NIM : 2115r1091
Jurusan : Teknik Informatika
Prodi : Agama

Dosen Pengampu:

Septia Lutfi

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN DAN ILMU KOMPUTER
HIMSYA


Hubungan Manusia dengan Allah

Hablum minallah ialah perjanjian dari Allah. Yaitu masuk Islam atau beriman dengan Islam sebagai jaminan keselamatan bagi mereka di dunia dan akherat. Atau tunduk kepada pemerintahan Muslimin dengan jaminan dari pemerintah itu sebagaimana yang diatur oleh Syari'ah dalam perkara hak dan kewajiban orang kafir dzimmi (yaitu orang kafir yang menjadi warga negara Islam) untuk mendapatkan jaminan perlindungan hak-haknya sebagai manusia di dalam kehidupan dunia saja, dan mendapat ancaman adzab di akhirat. (Lihat Tafsir At-Thabari , Tafsir Al-Baghawi , dan Tafsir Ibnu Katsir tentang pengertian surat Ali Imran 112).
Hubungan antara Sang Pencipta dan yang diciptakan adalah suatu hubungan yang tidak mungkin dipisahkan. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan yang  mustahil bisa lepas dari keterikatannya denganNYA. Bagaimanapun tidak percayanya manusia dengan Allah, suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar  manusia akan  mengikuti sunatullah yang berlaku di alam semesta ini.
Sesungguhnya hubungan antara Allah dan manusia sudah disadari oleh sebagian besar manusia sejak dahulu.  Mereka sudah mendudukkan Allah sebagai Rabb (pencipta alam semesta)  tapi mereka masih terhalangi, baik oleh kejahilan atau kesombongan,  untuk menempatkan Allah sebagai Ilah (yang disembah/diabdi), QS 39:67. Manusia yang demikian belumlah sempurna kehidupannya karena ia telah mengingkari  sesuatu  yang hak dan telah berlaku dhalim, dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang salah.  Mereka telah mempatkan  mahluq (hidup ataupun mati) sebagai ilah mereka.
Oleh karena itu seorang mukmin harus memahami bagaimana  hubungan  yang  seharusnya dibina dengan Allah SWT, sebagai Rabb-nya dan Ilah-nya.  Hal yang penting  didalam membina hubungan itu, manusia  harus lebih dahulu  mengenal betul  siapa Allah. Bukan untuk   mengenali zatNYA, tetapi mengenali  landasan dasar-NYA (masdarul ´ulmu)/ilmu-ilmu Allah. (QS 35:28,  49:18). Dengan memahami bagaimana luasnya kekuasan dan Ilmu Allah, akan timbul rasa kagum dan takut  kepada Allah SWT sekaligus menyadari betapa kecil dan hina dirinya. Pemahaman itu akan  berlanjut  dengan  kembalinya  ia pada hakikat penciptaannya dan mengikuti landasan hidup yang telah digariskan oleh Allah SWT (QS 96:5).  Ia  menyadari  ketergantungannya kepada Allah dan merasakan keindahan iman kepada Allah.
Ada tiga hal yang dapat dijelaskan didalam hubungan antara manusia (mukmin) dan Allah setelah manusia mengenali Allah dengan benar.
Pertama, pengenalan tersebut akan  mebuahkan hubungan yang indah denganNYA. Hubungan itu akan ditandai dengan adanya  rasa mahabah (cinta) yang sangat tinggi terhadap Allah.  Bahkan  mengalahkan  rasa cinta nya kepada  manusia lain ataupun benda yang dimilikinya. Ia memiliki tanda-tanda cinta seperti yang telah Allah gambarkan didalam surat Al Anfal :  2. Rasa cinta tersebut akan membuatnya selalu optimis dan dinamis didalam kehidupannya sebagai seorang mukmin, yang  membuat   jiwanya selalu  stabil  didalam berbagai kondisi.
Kedua,  Di dalam Al Qur`an,   Allah mengibaratkan  hubungan manusia (mukmin) dan Allah itu adalah seperti  hubungan  tijarah (jual beli) yang akan menyelamatkan orang-orang mukmin dari azab  yang pedih. Jual beli itu berupa keimanan kepada Allah swt dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa (QS 61: 10-11).  Selain itu Allah juga mengibaratkan `amal sholih  seorang mukmin sebagai  pinjaman  yang diberikan kepada Allah.  Dimana  pinjaman itu  akan Allah  beli dengan harga yang sesuai dengan penilaian Allah. Pinjaman itu dapat berupa tenaga ataupun harta.  Walaupun  hakikatnya semua harta di langit dan di Bumi adalah milik Allah dan diberikan sementara untuk manusia.  Tetapi jika manusia gunakan harta itu untuk menegakkan  kalimat Allah, maka Allah akan menganggapnya sebagai suatu pinjaman.  Dan  Allah akan mengembalikan pinjaman itu dengan berlipat ganda dan tidak terbatas (QS 64:17, 2:261).
Ketiga,  hubungan  manusia (mukmin) dan Allah  itu ditandai dengan adanya  kontrak kerja yang  menjadi kewajiban manusia, yaitu  berupa  `amal sholih.  Manusia terikat dan terlibat didalamnya.  Baik  `amal yang bersifat  umum (ibadah)  maupun ´amal khusus (da`wah).  Amal tersebut  lebih dari sekedar untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk  mengajak orang lain beribadah. Sehingga tidak dibenarkan seorang mukmin memisahkan diri, tetapi ia harus selalu berhubungan dengan manusia (berjamaah).
Jika dipahami lebih jauh dari  tiga pengertian di atas. Maka dapat diibaratkan manusia itu sebagai  penjual  `Amal sholih dan Allah sebagai  pembelinya.  Dua hal milik manusia yang dapat ditawarkan adalah hartanya (amwal) dan  dirinya (anfus). Harta sebagai sarana dan prasarananya dalam mengerjakan `amal sholih, sedangkan dirinya/jiwanya  sebagai komitmen selanjutnya.  Penjualan itu haruslah berkualitas ihsan (mejual yang  terbaik) sehingga akan menimbulkan keridhoan Allah SWT.  Dimana `Amal sholih nya itu dilakukan atas dasar karena Allah (lillah), dengan caraNya (billah) dan untukNya (fillah). Allah akan membeli yang terbaik dari manusia dan Allah telah berjanji untuk membayarnya dengan Jannah, dialam yang kekal nanti. (QS. 61:10,  9:105, 111).
Adapun bentuk jual beli yang termahal dan dihargai begitu tinggi oleh Allah adalah berjihad dijalanNya. Inilah sebaik-baiknya pinjaman. Berjihad berarti ia berusaha sekuat tenaga dan  rela mengorbankan apapun didalam perjuangan menegakkan kalimat Allah. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasululloh dan para Shahabat. Jalan yang jauh dari kesenangan dunia.  Mukmin yang berjihad adalah mukmin yang sudah menghayati dan meng‘amalkan makna syahadat. Makna syahadat yang tidak hanya menghiasi lisannya tapi sudah tergambar didalam tingkah laku dan àmal perbuatannya.  Kehidupan seorang mukmin, merupakan bukti dari pengertian pengakuan akan  ke-Ilahan Allah dan  ia akan mempertahankan  terus  hingga kematiannya. Bagi mukmin tersebut, kematiannya bernilai Syahid  yang tetap hidup disisi Allah dan tidak ada tempat baginya selain di Syurga.

Dengan demikian, akhlaqul karimah dibangun di atas kerangka hubungan dengan Allah melalui perjanjian yang diatur dalam Syari'at-Nya berkenaan dengan kewajiban menunaikan hak-hak Allah Ta'ala dan juga kerangka hubungan dengan sesama manusia melalui kewajiban menunaikan hak-hak sesama manusia baik yang muslim maupun yang kafir. Dari kerangka inilah kemudian diuraikan kriteria akhlaqul karimah . Hak-hak Allah itu ialah mentauhidkan-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain-Nya. Yaitu menunaikan tauhidullah dan menjauhi syirik , mentaati Rasul-Nya dan menjauhi bid'ah (yakni penyimpangan dari ajarannya). Dan inilah sesungguhnya prinsip utama bagi akhlaqul karimah , yang kemudian dari prinsip ini akhlaq Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dipuji dan disanjung oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya:

“Dan sesungguhnya engkau (hai Muhammad) di atas akhlaq yang agung.” ( Al-Qalam : 4)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan tentang ayat ini:

“Dan adapun akhlaq yang agung yang Allah terangkan bahwa ia itu ada pada Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam , pengertiannya adalah pengamalan segenap ajaran agama ini, yaitu segenap apa yang Allah perintahkan dengan mutlak.” ( Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah jilid ke 10 halaman 658).

Dalam pengertian yang demikian inilah akhlaq Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam sebagai penafsiran yang sah bagi ajaran Allah yang ada di dalam Al-Qur'an, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Aisyah Ummul Mu'minin radliyallahu `anha :

“Akhlaq Rasulullah itu adalah Al-Qur'an.” (HR. Muslim ).

Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Muflih Al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya Al-Aadaab Asy-Syar'iyyah menerangkan tentang pengertian daripada pernyataan A'isyah ini sebagai berikut:

“Maksudnya ialah, bahwa beliau berpegang dengan adab-adab yang diajarkan oleh Al-Qur'an, dan segenap perintah yang ada padanya dan juga segenap larangannya, juga berpegang dengan apa yang dikandunginya dari kemuliaan akhlaq dan kebaikan perangai serta kelembutan.” ( Al-Aadaab Asy-Syar'iyyah , jilid ke dua hal. 194).

Bahkan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan:

“Sesungguhnya seorang Mu'min itu akan bisa mencapai derajat amalan puasa dan shalat malam dengan memiliki akhlaq yang baik.” (HR. Abu Dawud dalam Sunan nya, Kitabul Adab bab Fi Husnil Khuluq hadits ke 4798 dari A'isyah radliyallahu `anha ).

Al-`Allamah Abit Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-Adhim Abadi rahimahullah dalam kitabnya Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud menerangkan makna hadits tersebut di atas:

“Orang Mu'min yang mempunyai akhlaq yang baik diberi keutamaan yang besar seperti ini, karena memang orang yang puasa dan orang yang shalat malam adalah orang-orang yang berjihad melawan hawa nafsunya. Demikian pula orang yang akhlaqnya baik terhadap manusia, walaupun kenyataannya manusia itu beraneka ragam tabiatnya juga tingkah laku mereka yang berbeda-beda satu dengan lainnya, maka dengan tetap dia berakhlaq yang baik kepada semua mereka itu, berarti dia harus berjihad melawan berbagai hawa nafsu dari banyak orang itu. Sehingga dengan demikian, Mu'min yang berakhlaq seperti ini mencapai keutamaan seperti yang dicapai oleh orang yang banyak puasa sunnah dan selalu menunaikan shalat malam. Kedudukannya sederajat dengan mereka, bahkan kadang-kadang derajatnya lebih tinggi.” ( Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud juz 13 halaman 154).

Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam menegaskan tentang keutamaan orang Mu'min yang mempunyai akhlaq yang mulia dalam sabda beliau sebagai berikut:

“Sesungguhnya orang yang terbaik dari kalangan kalian adalah yang paling baik akhlaqnya.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya Kitabul Adab bab Husnul Khuluq was Sakha' wa Maa Yukrahu Minal Bukhli hadits ke 6035 dari Abdullah bin Amr, lihat Fathul Bari juz 10 hal. 456).
Wallahu‘alam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar