“ MAKALAH HABLUM MINALLAH ”
Disusun Oleh:
Nama : Susi Lestari
NIM : 2115r1091
Jurusan : Teknik Informatika
Prodi : Agama
Dosen Pengampu:
Septia Lutfi
SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN DAN ILMU KOMPUTER
HIMSYA
Hubungan Manusia dengan Allah
Hablum minallah ialah perjanjian dari Allah. Yaitu masuk Islam
atau beriman dengan Islam sebagai jaminan keselamatan bagi mereka di dunia dan
akherat. Atau tunduk kepada pemerintahan Muslimin dengan jaminan dari
pemerintah itu sebagaimana yang diatur oleh Syari'ah dalam perkara hak dan
kewajiban orang kafir dzimmi (yaitu orang kafir yang menjadi warga negara
Islam) untuk mendapatkan jaminan perlindungan hak-haknya sebagai manusia di
dalam kehidupan dunia saja, dan mendapat ancaman adzab di akhirat. (Lihat
Tafsir At-Thabari , Tafsir Al-Baghawi , dan Tafsir Ibnu Katsir tentang
pengertian surat Ali Imran 112).
Hubungan antara Sang Pencipta dan yang diciptakan adalah suatu
hubungan yang tidak mungkin dipisahkan. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan
yang mustahil bisa lepas dari
keterikatannya denganNYA. Bagaimanapun tidak percayanya manusia dengan Allah,
suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar manusia akan mengikuti
sunatullah yang berlaku di alam semesta ini.
Sesungguhnya hubungan antara Allah dan manusia sudah disadari oleh sebagian besar manusia sejak dahulu. Mereka sudah mendudukkan Allah sebagai Rabb (pencipta alam semesta) tapi mereka masih terhalangi, baik oleh kejahilan atau kesombongan, untuk menempatkan Allah sebagai Ilah (yang disembah/diabdi), QS 39:67. Manusia yang demikian belumlah sempurna kehidupannya karena ia telah mengingkari sesuatu yang hak dan telah berlaku dhalim, dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang salah. Mereka telah mempatkan mahluq (hidup ataupun mati) sebagai ilah mereka.
Sesungguhnya hubungan antara Allah dan manusia sudah disadari oleh sebagian besar manusia sejak dahulu. Mereka sudah mendudukkan Allah sebagai Rabb (pencipta alam semesta) tapi mereka masih terhalangi, baik oleh kejahilan atau kesombongan, untuk menempatkan Allah sebagai Ilah (yang disembah/diabdi), QS 39:67. Manusia yang demikian belumlah sempurna kehidupannya karena ia telah mengingkari sesuatu yang hak dan telah berlaku dhalim, dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang salah. Mereka telah mempatkan mahluq (hidup ataupun mati) sebagai ilah mereka.
Oleh karena itu seorang mukmin harus memahami bagaimana
hubungan yang seharusnya dibina dengan Allah SWT, sebagai Rabb-nya
dan Ilah-nya. Hal yang penting didalam membina hubungan itu,
manusia harus lebih dahulu mengenal betul siapa Allah. Bukan
untuk mengenali zatNYA, tetapi mengenali landasan dasar-NYA
(masdarul ´ulmu)/ilmu-ilmu Allah. (QS 35:28, 49:18). Dengan memahami
bagaimana luasnya kekuasan dan Ilmu Allah, akan timbul rasa kagum dan
takut kepada Allah SWT sekaligus menyadari betapa kecil dan hina dirinya.
Pemahaman itu akan berlanjut dengan kembalinya ia pada
hakikat penciptaannya dan mengikuti landasan hidup yang telah digariskan oleh
Allah SWT (QS 96:5). Ia menyadari ketergantungannya kepada
Allah dan merasakan keindahan iman kepada Allah.
Ada tiga hal yang dapat dijelaskan didalam hubungan antara
manusia (mukmin) dan Allah setelah manusia mengenali Allah dengan benar.
Pertama, pengenalan tersebut akan mebuahkan hubungan yang indah denganNYA. Hubungan itu akan ditandai dengan adanya rasa mahabah (cinta) yang sangat tinggi terhadap Allah. Bahkan mengalahkan rasa cinta nya kepada manusia lain ataupun benda yang dimilikinya. Ia memiliki tanda-tanda cinta seperti yang telah Allah gambarkan didalam surat Al Anfal : 2. Rasa cinta tersebut akan membuatnya selalu optimis dan dinamis didalam kehidupannya sebagai seorang mukmin, yang membuat jiwanya selalu stabil didalam berbagai kondisi.
Pertama, pengenalan tersebut akan mebuahkan hubungan yang indah denganNYA. Hubungan itu akan ditandai dengan adanya rasa mahabah (cinta) yang sangat tinggi terhadap Allah. Bahkan mengalahkan rasa cinta nya kepada manusia lain ataupun benda yang dimilikinya. Ia memiliki tanda-tanda cinta seperti yang telah Allah gambarkan didalam surat Al Anfal : 2. Rasa cinta tersebut akan membuatnya selalu optimis dan dinamis didalam kehidupannya sebagai seorang mukmin, yang membuat jiwanya selalu stabil didalam berbagai kondisi.
Kedua, Di dalam Al Qur`an, Allah
mengibaratkan hubungan manusia (mukmin) dan Allah itu adalah
seperti hubungan tijarah (jual beli) yang akan menyelamatkan
orang-orang mukmin dari azab yang pedih. Jual beli itu berupa keimanan
kepada Allah swt dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa (QS 61:
10-11). Selain itu Allah juga mengibaratkan `amal sholih seorang
mukmin sebagai pinjaman yang diberikan kepada Allah.
Dimana pinjaman itu akan Allah beli dengan harga yang sesuai
dengan penilaian Allah. Pinjaman itu dapat berupa tenaga ataupun harta.
Walaupun hakikatnya semua harta di langit dan di Bumi adalah milik Allah
dan diberikan sementara untuk manusia. Tetapi jika manusia gunakan harta
itu untuk menegakkan kalimat Allah, maka Allah akan menganggapnya sebagai
suatu pinjaman. Dan Allah akan mengembalikan pinjaman itu dengan
berlipat ganda dan tidak terbatas (QS 64:17, 2:261).
Ketiga, hubungan manusia (mukmin) dan Allah
itu ditandai dengan adanya kontrak kerja yang menjadi kewajiban
manusia, yaitu berupa `amal sholih. Manusia terikat dan
terlibat didalamnya. Baik `amal yang bersifat umum
(ibadah) maupun ´amal khusus (da`wah). Amal tersebut lebih
dari sekedar untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mengajak orang lain
beribadah. Sehingga tidak dibenarkan seorang mukmin memisahkan diri, tetapi ia
harus selalu berhubungan dengan manusia (berjamaah).
Jika dipahami lebih jauh dari tiga pengertian di atas.
Maka dapat diibaratkan manusia itu sebagai penjual `Amal sholih dan
Allah sebagai pembelinya. Dua hal milik manusia yang dapat
ditawarkan adalah hartanya (amwal) dan dirinya (anfus). Harta sebagai
sarana dan prasarananya dalam mengerjakan `amal sholih, sedangkan
dirinya/jiwanya sebagai komitmen selanjutnya. Penjualan itu
haruslah berkualitas ihsan (mejual yang terbaik) sehingga akan menimbulkan
keridhoan Allah SWT. Dimana `Amal sholih nya itu dilakukan atas dasar
karena Allah (lillah), dengan caraNya (billah) dan untukNya (fillah). Allah
akan membeli yang terbaik dari manusia dan Allah telah berjanji untuk
membayarnya dengan Jannah, dialam yang kekal nanti. (QS. 61:10, 9:105,
111).
Adapun bentuk jual beli yang termahal dan dihargai begitu
tinggi oleh Allah adalah berjihad dijalanNya. Inilah sebaik-baiknya pinjaman.
Berjihad berarti ia berusaha sekuat tenaga dan rela mengorbankan apapun
didalam perjuangan menegakkan kalimat Allah. Sebagaimana yang telah dicontohkan
oleh Rasululloh dan para Shahabat. Jalan yang jauh dari kesenangan dunia.
Mukmin yang berjihad adalah mukmin yang sudah menghayati dan meng‘amalkan makna
syahadat. Makna syahadat yang tidak hanya menghiasi lisannya tapi sudah
tergambar didalam tingkah laku dan àmal perbuatannya. Kehidupan seorang
mukmin, merupakan bukti dari pengertian pengakuan akan ke-Ilahan Allah
dan ia akan mempertahankan terus hingga kematiannya. Bagi
mukmin tersebut, kematiannya bernilai Syahid yang tetap hidup disisi
Allah dan tidak ada tempat baginya selain di Syurga.
Dengan demikian, akhlaqul karimah dibangun di atas kerangka
hubungan dengan Allah melalui perjanjian yang diatur dalam Syari'at-Nya
berkenaan dengan kewajiban menunaikan hak-hak Allah Ta'ala dan juga kerangka
hubungan dengan sesama manusia melalui kewajiban menunaikan hak-hak sesama
manusia baik yang muslim maupun yang kafir. Dari kerangka inilah kemudian
diuraikan kriteria akhlaqul karimah . Hak-hak Allah itu ialah mentauhidkan-Nya
dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain-Nya. Yaitu menunaikan tauhidullah
dan menjauhi syirik , mentaati Rasul-Nya dan menjauhi bid'ah (yakni
penyimpangan dari ajarannya). Dan inilah sesungguhnya prinsip utama bagi
akhlaqul karimah , yang kemudian dari prinsip ini akhlaq Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wa sallam dipuji dan disanjung oleh Allah Ta'ala dalam
firman-Nya:
“Dan sesungguhnya engkau (hai Muhammad) di atas akhlaq yang agung.” ( Al-Qalam : 4)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan tentang ayat ini:
“Dan adapun akhlaq yang agung yang Allah terangkan bahwa ia itu ada pada Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam , pengertiannya adalah pengamalan segenap ajaran agama ini, yaitu segenap apa yang Allah perintahkan dengan mutlak.” ( Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah jilid ke 10 halaman 658).
Dalam pengertian yang demikian inilah akhlaq Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam sebagai penafsiran yang sah bagi ajaran Allah yang ada di dalam Al-Qur'an, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Aisyah Ummul Mu'minin radliyallahu `anha :
“Akhlaq Rasulullah itu adalah Al-Qur'an.” (HR. Muslim ).
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Muflih Al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya Al-Aadaab Asy-Syar'iyyah menerangkan tentang pengertian daripada pernyataan A'isyah ini sebagai berikut:
“Maksudnya ialah, bahwa beliau berpegang dengan adab-adab yang diajarkan oleh Al-Qur'an, dan segenap perintah yang ada padanya dan juga segenap larangannya, juga berpegang dengan apa yang dikandunginya dari kemuliaan akhlaq dan kebaikan perangai serta kelembutan.” ( Al-Aadaab Asy-Syar'iyyah , jilid ke dua hal. 194).
Bahkan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan:
“Sesungguhnya seorang Mu'min itu akan bisa mencapai derajat amalan puasa dan shalat malam dengan memiliki akhlaq yang baik.” (HR. Abu Dawud dalam Sunan nya, Kitabul Adab bab Fi Husnil Khuluq hadits ke 4798 dari A'isyah radliyallahu `anha ).
Al-`Allamah Abit Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-Adhim Abadi rahimahullah dalam kitabnya Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud menerangkan makna hadits tersebut di atas:
“Orang Mu'min yang mempunyai akhlaq yang baik diberi keutamaan yang besar seperti ini, karena memang orang yang puasa dan orang yang shalat malam adalah orang-orang yang berjihad melawan hawa nafsunya. Demikian pula orang yang akhlaqnya baik terhadap manusia, walaupun kenyataannya manusia itu beraneka ragam tabiatnya juga tingkah laku mereka yang berbeda-beda satu dengan lainnya, maka dengan tetap dia berakhlaq yang baik kepada semua mereka itu, berarti dia harus berjihad melawan berbagai hawa nafsu dari banyak orang itu. Sehingga dengan demikian, Mu'min yang berakhlaq seperti ini mencapai keutamaan seperti yang dicapai oleh orang yang banyak puasa sunnah dan selalu menunaikan shalat malam. Kedudukannya sederajat dengan mereka, bahkan kadang-kadang derajatnya lebih tinggi.” ( Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud juz 13 halaman 154).
Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam menegaskan tentang keutamaan orang Mu'min yang mempunyai akhlaq yang mulia dalam sabda beliau sebagai berikut:
“Sesungguhnya orang yang terbaik dari kalangan kalian adalah yang paling baik akhlaqnya.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya Kitabul Adab bab Husnul Khuluq was Sakha' wa Maa Yukrahu Minal Bukhli hadits ke 6035 dari Abdullah bin Amr, lihat Fathul Bari juz 10 hal. 456).
“Dan sesungguhnya engkau (hai Muhammad) di atas akhlaq yang agung.” ( Al-Qalam : 4)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan tentang ayat ini:
“Dan adapun akhlaq yang agung yang Allah terangkan bahwa ia itu ada pada Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam , pengertiannya adalah pengamalan segenap ajaran agama ini, yaitu segenap apa yang Allah perintahkan dengan mutlak.” ( Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah jilid ke 10 halaman 658).
Dalam pengertian yang demikian inilah akhlaq Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam sebagai penafsiran yang sah bagi ajaran Allah yang ada di dalam Al-Qur'an, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Aisyah Ummul Mu'minin radliyallahu `anha :
“Akhlaq Rasulullah itu adalah Al-Qur'an.” (HR. Muslim ).
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Muflih Al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya Al-Aadaab Asy-Syar'iyyah menerangkan tentang pengertian daripada pernyataan A'isyah ini sebagai berikut:
“Maksudnya ialah, bahwa beliau berpegang dengan adab-adab yang diajarkan oleh Al-Qur'an, dan segenap perintah yang ada padanya dan juga segenap larangannya, juga berpegang dengan apa yang dikandunginya dari kemuliaan akhlaq dan kebaikan perangai serta kelembutan.” ( Al-Aadaab Asy-Syar'iyyah , jilid ke dua hal. 194).
Bahkan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan:
“Sesungguhnya seorang Mu'min itu akan bisa mencapai derajat amalan puasa dan shalat malam dengan memiliki akhlaq yang baik.” (HR. Abu Dawud dalam Sunan nya, Kitabul Adab bab Fi Husnil Khuluq hadits ke 4798 dari A'isyah radliyallahu `anha ).
Al-`Allamah Abit Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-Adhim Abadi rahimahullah dalam kitabnya Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud menerangkan makna hadits tersebut di atas:
“Orang Mu'min yang mempunyai akhlaq yang baik diberi keutamaan yang besar seperti ini, karena memang orang yang puasa dan orang yang shalat malam adalah orang-orang yang berjihad melawan hawa nafsunya. Demikian pula orang yang akhlaqnya baik terhadap manusia, walaupun kenyataannya manusia itu beraneka ragam tabiatnya juga tingkah laku mereka yang berbeda-beda satu dengan lainnya, maka dengan tetap dia berakhlaq yang baik kepada semua mereka itu, berarti dia harus berjihad melawan berbagai hawa nafsu dari banyak orang itu. Sehingga dengan demikian, Mu'min yang berakhlaq seperti ini mencapai keutamaan seperti yang dicapai oleh orang yang banyak puasa sunnah dan selalu menunaikan shalat malam. Kedudukannya sederajat dengan mereka, bahkan kadang-kadang derajatnya lebih tinggi.” ( Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud juz 13 halaman 154).
Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam menegaskan tentang keutamaan orang Mu'min yang mempunyai akhlaq yang mulia dalam sabda beliau sebagai berikut:
“Sesungguhnya orang yang terbaik dari kalangan kalian adalah yang paling baik akhlaqnya.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya Kitabul Adab bab Husnul Khuluq was Sakha' wa Maa Yukrahu Minal Bukhli hadits ke 6035 dari Abdullah bin Amr, lihat Fathul Bari juz 10 hal. 456).
Wallahu‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar